Oleh : Dedi Saputra (Dosen Fisopol Univ. Nurdin Hamzah Jambi)
Lintassabak.com – Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat dan memantik diskusi serius sejumlah kalangan, setelah pidato Presiden Prabowo Subianto yang menyebutkan bahwa, mekanisme tersebut lebih efisien dibandingkan pilkada secara langsung. Presiden Prabowo menekankan bahwa, pilkada secara langsung selama ini membutuhkan biaya yang sangat tinggi, baik dari sisi keuangan negara maupun para kandidat, sekaligus membuka jalan terjadinya praktik politik uang (money politic) yang justru merusak esensi demokrasi itu sendiri.
Pernyataan ini memicu perdebatan luas di tengah masyarakat, terutama para pemerhati demokrasi dan kaum akademisi, bagi yang sepakat dengan wacana yang disampaikan oleh Presiden Prabowo itu menyampaikan argumentasinya bahwa, pemilihan lewat DPRD tidak hanya menghemat anggaran negara, tetapi juga mengecilkan potensi konflik sosial ditengah masyarakat dan memastikan kepala daerah terpilih lebih berkualitas dan berintegritas.
Menurut saya dalam konteks ini meskipun sedang terjadi pro dan kontra ditengah masyarakat terkait wacana ini, tetapi penting bagi kita untuk mengevaluasi ulang pelaksanaan pilkada secara langsung ini yang sudah berlangsung sejak 2005 silam, termasuk berbagai persoalan yang muncul selama ini, seperti integritas seorang kandidat, isu politik uang yang begitu massif, keterlibatan birokrasi hingga konflik horizontal ditengah masyarakat. Maka dari itu saya berpandangan bahwa, pemilihan kepala daerah melalui DPRD bukan hanya langkah efisien, tetapi juga lebih mendekati substansi demokrasi itu sendiri.
Dalam pandangan Max Weber, pemimpin yang ideal itu haruslah memiliki kompetensi dan integritas yang kuat terhadap tugas publik. Namun, harus kita akui bahwa, selama ini pilkada secara langsung sering kali menghasilkan pemimpin yang terpilih bukan karena kualitasnya, melainkan hanya faktor popularitas atau kemampuan finansial saja. Politik uang menjadi penyakit sistemik yang harus segera diatasi. Berdasarkan data survei dari Transparency International Indonesia (TII), 68% kepala daerah terpilih di Indonesia menghadapi kasus korupsi.
Saya berpandangan bahwa, selama ini standarisasi kualitas kepala daerah sulit untuk dicapai ketika sistem pilkada secara langsung memberi ruang besar pada pragmatisme politik, di mana kemenangan sering kali ditentukan oleh seberapa besar modal kampanye, bukan visi atau kompetensi seorang kepala daerah itu sendiri.
Dalam teori konflik dari Lewis Coser yang menjelaskan bahwa, konflik merupakan hal yang wajar dalam masyarakat, apalagi ada kepentingan politik tertentu, akan tetapi ketika konflik tersebut tidak dikelola dengan baik, maka konflik dapat menjadi destruktif. Harus kita akui bahwa, pilkada secara langsung sering kali memicu konflik horizontal yang tajam ditengah masyarakat kita. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa, setidaknya ada 200 kasus konflik sosial terkait pilkada sejak tahun 2005. Ketegangan ini, selain mencederai demokrasi, juga mengganggu stabilitas sosial ditengah masyarakat.
Selain itu,keterlibatan birokrasi dalam mendukung calon tertentu yang selama ini terjadi tentu melanggar prinsip netralitas ASN (Aparatur Sipil Negara). Ini menimbulkan dilema etik dan menghambat fungsi birokrasi sebagai pelayan masyarakat.
Dalam teori pluralisme oleh Robert Dahl, demokrasi adalah kompetisi sehat antara berbagai kelompok kepentingan. Namun, pilkada langsung sering kali dikuasai oleh kelompok tertentu, seperti tim sukses atau oligarki lokal. Ini beralih ke logika elitisme sebagaimana diungkapkan oleh Gaetano Mosca, di mana segelintir orang atau kelompok kecil mengendalikan jalannya pemerintahan. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan sering kali menguntungkan kelompok tertentu, bukan masyarakat secara luas.
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukan berarti menghapus demokrasi, tetapi justru mengembalikan esensinya. Berdasarkan teori representasi Edmund Burke, wakil rakyat (anggota DPRD) memiliki mandat untuk membuat keputusan atas nama masyarakat. Dengan sistem ini, pemilihan menjadi lebih efisien karena mengurangi biaya politik yang tinggi dan risiko konflik sosial.
Selain itu, mekanisme pemilihan melalui DPRD dapat memperkuat fungsi partai politik sebagai institusi demokrasi. Proses seleksi calon kepala daerah di tingkat partai dapat diawasi secara lebih ketat, mengurangi praktik mahar politik yang selama ini menjadi rahasia umum ditengah masyarakat.
Dalam kerangka teori institusionalisme oleh Douglass North, partai politik adalah institusi yang memainkan peran kunci dalam menentukan kualitas demokrasi. Selama ini, proses seleksi calon kepala daerah oleh partai cenderung tertutup dan sarat akan kepentingan. Jika pilkada dilakukan melalui DPRD, partai politik dapat didorong untuk lebih transparan, karena proses pemilihan akan lebih mudah untuk diawasi oleh masyarakat.
Berdasarkan Studi empiris dari LIPI (2023) menyebutkan bahwa, ada 70% pemilih dalam pilkada dipengaruhi oleh uang atau bentuk materi lainnya. Selain itu, riset dari KPU sendiri menunjukkan bahwa, hanya ada 25% masyarakat yang benar-benar memahami visi dan misi calon kepala daerah. Angka ini menunjukkan bahwa, pilkada secara langsung belum mampu mendorong pendidikan politik yang efektif untuk mencapai kualitas yang diinginkan.
Sebaliknya, pengalaman kita pada pilkada lewat DPRD sebelum tahun 2005 menunjukkan bahwa, konflik sosial jauh lebih minimal, dan biaya politik lebih rendah. Dengan pengawasan yang lebih ketat, sistem ini memiliki potensi untuk lebih memperkuat demokrasi substansial sebagaimana yang kita cita-citakan.
Maka dari itu, untuk mendapatkan sebuah Demokrasi yang Berkualitas, wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah langkah strategis untuk memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia bukan justru akan membunuh demokrasi itu sendiri. Cara ini tidak hanya mengurangi persoalan politik uang, konflik sosial, dan ketegangan birokrasi, tetapi juga memastikan bahwa kepala daerah terpilih memiliki integritas dan kompetensi yang memadai. Dengan penguatan fungsi partai politik dan pengawasan yang ketat, demokrasi Indonesia dapat bertransformasi dari prosedural menuju substansial, di mana kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama.
Tinggalkan Balasan