Lintassabak.com – Pengamat komunikasi politik, Dedi Saputra, melontarkan kritik tajam terhadap Pemerintah Kota Jambi yang dinilai gagal mengatasi persoalan anak-anak terlantar yang kini kian marak terlihat di persimpangan lampu merah. Anak-anak yang masih di bawah usia tujuh tahun itu, menurutnya, adalah cerminan paling nyata dari kegagalan sistemik dalam perlindungan sosial dan kebijakan publik yang seharusnya berpihak pada masa depan generasi muda.

“Setiap hari kita menyaksikan pemandangan yang memilukan di tengah lalu lintas kota. Anak-anak kecil, berpakaian lusuh, menjajakan tisu, mengemis, atau sekadar berdiri kebingungan di bawah terik matahari itu semua bukan kebetulan. Ini bukan sekadar masalah sosial, melainkan wajah buram dari kegagalan pemerintahan yang abai terhadap tanggung jawab dasarnya,” ujar Dedi.

Ia menilai bahwa tagline yang diusung Pemerintah Kota Jambi, yakni “Jambi Bahagia”, tidak lebih dari slogan retoris yang indah di atas kertas dan spanduk, tetapi kosong dalam implementasi. Dedi menegaskan, jika kebahagiaan hanya berhenti pada dekorasi visual dan panggung-panggung seremoni, maka pemerintah telah gagal memahami esensi dari komunikasi publik yang bermakna.

Baca juga :  Dicegat Mahasiswa di Bungo, Romi Janji Akan Angkat Warga Bungo Menduduki Jabatan Eselon Dua di Pemprov Jambi 

“Tagline itu tidak bisa berdiri di atas realita yang timpang. Kota ini disebut sebagai ‘Jambi Bahagia’, tetapi anak-anak yang seharusnya berada di bangku PAUD atau Sekolah Dasar justru dibiarkan terlunta di jalanan. Ini bukan retorika politik ini adalah kegagalan nyata,” tegasnya.

Yang membuat Dedi lebih prihatin, Kota Jambi selama ini dikenal sebagai daerah yang menjunjung tinggi adat istiadat Jambi dan nilai-nilai keagamaan Islam yang kuat. Dalam kultur lokal Jambi, anak adalah amanah, keluarga adalah pusat kehormatan, dan masyarakat memiliki tanggung jawab kolektif atas tumbuh kembang generasi mudanya.

Baca juga :  Sri Rahayu Resmi Pimpin Fatayat NU Provinsi Jambi 2025-2030

“Ironis sekali. Di kota yang mengaku menjunjung adat Melayu dan nilai religius, anak-anak justru dibiarkan kehilangan arah. Lantas, di mana rasa malu kita sebagai orang Jambi? Di mana kepedulian yang selalu diagung-agungkan dalam budaya lokal kita? Ini realitas yang menyentil nurani,” ungkap Dedi dengan nada geram.

Ia mendesak Pemerintah Kota Jambi agar tidak menutup mata terhadap fenomena ini dan segera membentuk langkah-langkah konkret berbasis data dan pendekatan kemanusiaan. Intervensi tidak bisa lagi bersifat kosmetik atau musiman. Diperlukan peta jalan (roadmap) yang jelas, mulai dari identifikasi dan pelacakan keluarga, rehabilitasi sosial, pemberian akses pendidikan, hingga program pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas.

Baca juga :  Kunjungi Jambi, Kaesang Pangarep Ajak Warga Pilih Romi-Sudirman di Pilgub Jambi 2024

“Selama ini pemerintah lebih sibuk menata wajah kota secara visual mempercantik taman, mengecat trotoar tetapi abai terhadap luka sosial yang nyata dan berdarah. Jambi tidak butuh retorika bahagia. Jambi butuh kebijakan yang menyelamatkan,” ujarnya tegas.

Dedi menutup kritiknya dengan mengingatkan bahwa sebuah kota akan dinilai bukan dari seberapa megah spanduk yang dikibarkan, melainkan dari bagaimana ia memperlakukan anak-anak kecil yang paling rentan di tengah masyarakatnya.

“Selama anak-anak itu masih berdiri di tengah jalan meminta belas kasihan, maka Kota Jambi belum benar-benar bahagia. Kita tidak bisa mengklaim ‘bahagia’ jika masih menutup mata dari tangisan anak-anak yang kehilangan masa depan di jalanan,” pungkasnya.